Translate

Sabtu, 28 April 2012

Budidaya jahe merah perlu kerja sama petani, distributor, dan pengusaha

Walau kebutuhan jahe sangat tinggi, jahe perlu diolah terlebih dahulu sebelum dipasarkan sampai ke tingkat konsumen akhir. Selain industri jamu dan minuman, jahe merah juga dibutuhkan industri kosmetik sebagai bahan baku produksi kosmetik.

Jahe adalah bahan baku terbesar kedua dalam produksi jamu setelah temu lawak. Selain jahe merah, sebenarnya juga ada jenis lain yang tak kalah bermanfaat, seperti jahe emprit dan jahe gajah. Namun sepertinya, saat ini pamor jahe merahlah yang sedang naik daun.

Permintaan jamu dan produk olahan jahe, terutama jahe merah yang meningkat membuat budi daya jahe merah saat ini memiliki prospek bisnis yang cerah. Sayangnya, di tengah meningginya kebutuhan, data Kementerian Pertanian malah menunjukkan, produksi jahe secara total pada 2010 ini justru menurun. Jika pada tahun 2009 produksi jahe mencapai 122.000 ton, tahun ini diperkirakan hanya sebesar 108.000 ton.

Ini berarti di tengah permintaan jahe yang melonjak, jumlah produksi malah turun sebesar 14 juta kg. Penurunan ini terjadi karena kondisi cuaca yang kurang mendukung akhir-akhir ini. "Kebutuhan jahe untuk industri jamu tahun ini diperkirakan sebesar 92.897," kata Sumardi Noor, Kepala Seksi Bimbingan Usaha Dirjen Hortikultura Kementerian Pertanian.

Selain untuk industri jamu, jahe juga banyak dibutuhkan untuk bahan baku kosmetik. Menurut Sumardi, kebutuhan pasar domestik yang tinggi, membuat produksi jahe untuk saat ini hanya cukup memenuhi kebutuhan pasar lokal saja.

Sumardi menjelaskan, selain penurunan produksi, ada kendala lain yang dihadapi petani jahe. Kendala itu adalah petani lokal belum mampu memenuhi seluruh syarat kualitas jahe yang ditetapkan industri. "Seperti, petani belum bisa memenuhi kadar air minimal," katanya.

Ekspor jahe biasanya dilakukan untuk produk olahan jadi, bukan jahe mentah atau kering. Ini cukup menggembirakan sebab pengusaha akan mendapatkan nilai tambah tinggi.

Seperti yang dilakukan Antonius Jarwoko, petani jahe di Semarang, Jawa Tengah. Dia kini memproduksi sirup jahe merah dari jahe hasil kebun sendiri. Untuk memproduksi sirup, dia butuh sekitar satu ton jahe. Namun yang dihasilkan pertaniannya hanya setengah ton. Karena itu, Antonius masih harus membeli jahe dari petani lain di sekitar Semarang untuk menutup kekurangan.

Dengan pangsa pasar di seluruh Indonesia, dia meraih nilai tambah yang cukup besar dengan menjual jahe sirup. Jika saat ini harga jahe minimal Rp 10.000 per kg, dia mampu menjual sirup jahe seharga Rp 13.500 per botol.

Kebutuhan jahe merah Darul Mahbar, pemilik merek minuman jahe merah Cangkir Mas dan Cangkir Merah, juga terus meningkat. Untuk itu dia terus menjalin kerja sama dengan petani jahe di Wonosobo Jawa Tengah, dan Palembang.

Dari kerja sama ini, dia mampu memperoleh pasokan mencapai 20 ton jahe selama sembilan bulan penuh. "Petani membutuhkan distributor, dan industri olahan jahe," ujarnya.

Kerja sama saling menguntungkan antara petani dan industri olahan jahe sangat penting agar seluruh produksi jahe petani bisa terserap. Sebab, menurut Darul, petani akan kesulitan menjual seluruh hasilnya jika hanya mengandalkan penjualan jahe mentah tanpa diolah lebih lanjut.
(http://peluangusaha.kontan.co.id)

Tidak ada komentar: