Translate

Minggu, 01 Juli 2012

Standar Perajangan Jahe Merah

Menurut Koeswara (1995), jahe yang akan dikeringkan dapat dipotong melintang (dirajang) setebal 3 sampai 4 milimeter (slices), dibelah dua sejajar dengan permukaannya yang datar (split) atau dalam
bentuk utuh, hal ini akan mempengaruhi lama pengeringan sertakandungan minyak atsiri pada jahe. Selain itu, jahe juga dapat dikeringkan tanpa dikuliti, setengah dikuliti atau dikuliti seluruhnya, hal
ini akan berpengaruh pada kadar serat, kandungan mnyak atsiri dan oleoresin jahe serta rendemen produk.

Pengecilan ukuran bahan dengan cara perajangan pada bahan seperti umbi akar dapat memperluas permukaan bahan dan memecahkan dinding-dinding sel yang mengandung minyak dan resin sehingga penetrasi uap panas dan zat pelarut lebih efektif (Maryam, 1985).

Rendemen Jahe Merah Kering…


Berapakah persentase rendemen jahe merah kering ? ini tentu merupakan pertanyaan bagi para pemula wirausaha pengeringan jahe merah, tidak usah khawatir sepanjang masih dalam range hasil penelitian berikut maka dapat dikatakan bahwa usaha anda sudah layak secara teknis walau secara ekonomis masih perlu dipertanyakan.

Guenther (1952) menyatakan bahwa pengeringan merupakan salah satu perlakuan pendahuluan terhadap bahan yang mengandung oleoresin sebelum diekstraksi. Selama pengeringan terjadi penguapan air serta zatzat yang mudah menguap dari jaringan ke permukaan bahan yang menyebabkan hilangnya zat-zat tersebut. Kerusakan dinding bahan selama proses ekstraksi akan memudahkan pengeluaran minyak dan resin, sehingga waktu ekstraksi menjadi lebih singkat, sedangkan suhu pengeringan yang terlalu tinggi akan menurunkan rendemen oleorein
yang dihasilkan.

Rendemen jahe kering berkisar antara 13 sampai 16 persen dengan kadar air 10 sampai 12 persen dan lama pengeringan sekitar 3 sampai 10 hari tergantung dari cara pengeringannya (Rusli, 1989). Sedangkan menurut Rusli dan Rahmawan (1988), pengeringan jahe dengan menggunakan oven lebih cepat dibandingkan dengan pengeringan pada tampah atau kamar pengering energi surya. Menurut Purseglove et al (1981), pengeringan jahe dapat dilakukan dibawah suhu 48,5o sampai 81,0oC. Pada umumnya pengeringan dilakukan dibawah suhu 57oC, sedangkan untuk tujuan ekstraksi dapat dilakukan sampai suhu 81oC. Ketaren (1985) menambahkan susut berat jahe selama proses pengeringan jahe sekitar 70 persen dari berat segar. Jahe yang bermutu baik mempunyai kadar air tidak lebih dari 10 persen berat basah, sedangkan jahe yang bermutu rendah berkadar air sekitar 25 persen.

Selamat mengeringkan jahe merah...!!!!!!

Tahap - Tahap Pembuatan Simplisia Jahe Merah

Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami penolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain. Simplisia merupakan bahan yang dikeringkan. Simplisia dapat berupa simplisia nabati, simplisia hewani, dan simplisia pelikan atau mineral (Anonim, 2000).
Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tanaman utuh, bagian tanaman, atau ekssudat tanaman. Yang dimaksud dengan eksudat tanaman adalah isi sel yang secara spontan keluar dari tanaman atau dengan cara tertentu dikeluarkan dari selnya, atau zat-zat nabati lainnya yang dengan cara tertentu dipisahkan dari tanamannya. Simplisia hewani ialah simplisia yang berupa hewan utuh, bagian hewan atau zat-zat berguna yang dihasilkan oleh hewan dan belum berupa zat kimia murni. Simplisia pelikan atau mineral adalah simplisia yang berupa bahan pelikan atau mineral yang belum diolah atau telah dengan cara sederhana dan belum berupa zat kimia murni.
Untuk menjalin keseragaman senyawa aktif, keamanan ,aupun kegunaannya maka simplisia harus memenuhi persyaratan minimal. Untuk memenuhi persyaratan minimal itu, ada beberapa faktor yang berpengaruh antara lain:
a.       Bahan baku simplisia
b.      Proses pembuatan simplisia termasuk cara penyimpanan bahan baku simplisia
c.       Cara pengepakan dan penyimpanan simplisia
Pemilihan sumber tanaman obat sebagai sumber bahan baku simplisia nabati merupakan salah satu faktor yang sangat berpengfaruh pada mutu simplisia, termasuk di dalamnya pemilihan bibit (untuk tumbuhan hasil budidaya)  dan pengolahan maupun jenis tanah tempat tumbuh tanaman obat. Sebagai sumber simplisia, tanaman obat dapat berupa tumbuhan liar atau tanaman budidaya.
Tumbuhan liar umumnya kurang baik untuk dijadikan sumber simplisia jika dibandingkan dengan tanaman budidaya,  karena simplisia yang dihasilkan mutunya tidak tetap, hal ini terutama disebabkan antara lain:
1.      Umur tumbuhan atau bagian tumbuhan yang dipanen tidak tepat dan berbeda-beda. Ini akan berpengaruh pada kadar senyawa aktif. Ini berarti bahwa mutu simplisia yang dihasilkan sering tidak sama karena umur pada saat panen tidak sama.
2.      Jenis tumbuhan yang dipanen sering kurang diperhatikan, sehingga simplisia yang diperoleh tidak sama.
3.      Lingkungan tidak tumbuh yang berbeda, sering mengakibatkan perbedaan kadar kandungan senyawa aktif. Pertumbuhan tanaman dipengaruhi tinggi tempat, keadaan tanah, dan cuaca. 
Proses pembuatansimplisia merupakan proses tindak lanjut setelah bahan baku simplisia selesai dipanen, sehingga sering disebut proses pasca panen. Pasca panen merupakan kelanjutan dari proses panen terhadap tanaman budidaya atau hasil dari penambangan alam yang berfungsi untuk membuat bahan hasil panen tidak mudah russak dan memiliki kualitas yang baik serat mudah disimpan untuk proses selanjutnya.
Penanganan dan pengelolaan pasca panen adalah suatu perlakuan yang diberikan pada hasil pertanian hingga produk siap dikonsumsi. Penanaman dan pengelolaan pasca panen tanaman obat dillakukan terutama untuk menghindari kerugian-kerugian yang mungkin timbul akibat perlakuan pra panen dan pasca panen yang kurang tepat. Hal-hal yang dapat mengakibatkan kerugian, misalnya terjadinya perubahan sifat zat yang terdapat dalam tanaman, perlakuan dan cara panen yang tidak tepat, masalah daerah produksi yang menyangkut keadaan iklim dan lingkungan, teknologi pasca panen yang diterapkan, limbah, serta masalah sosial/ekonomi dan budaya masyarakat.
Bahan tanaman yang akan menjadi bahan baku obat, dalam proses pemilihan bibit, budidaya, hingga pemanenan tentunya memiliki standar prosedur untuk menghasilkan bahan obat yang berkualitas. Standar prosedur secara optimal dilakukan antara lain melalui pemilihan bibit unggul, pemberian pupuk dan pestisida serta pemilihan waktu dan cara panen sesuai bagian tanaman yang akan dipanen untuk bahan obat (biji, daun, buah, rimpang, bunga, kayu, atau herba). Akan tetapi disamping itu penangan pasca panenpun tak kalah penting untuk menjaga kualitas hasil panen saat penyimpanan hingga siap pakai sebagai obat tradisional atau masuk dalam proses formulasi sediaan obat modern. Tujuan dari pasca panen ini adalah untuk menghasilkan simplissia tanaman obat yang bermutu, efek terapinya tinggi sehingga memiliki nilai jual yang tinggi.
Produksi adalah semua kegiatan pembuatan dimulai dari pengadaan bahan awal termasuk penyiapan bahan baku, pengolahan, pengemasan, pengawasan mutu, sampai diproleh produk jadi yang siap untuk didistribusikan. Pembuatan simplisia secara umum dapat menggunakan cara-cara berikut:
1.      Pengeringan
2.      Fermentasi
3.      Proses khusus (penyulingan, pengentalan eksudat)
4.      Dengan bantuan air (misal, pada pembuatan pati)
Kementrian negara riset dan teknologi mengakui bahwa aspek pasca penen merupakan hal yang selama ini kurang diperhatikan secara optimal. Secara garis besar, tahap-tahap pembuatan simplisia khususnya rimpang temu-temuan adalah:
1.      Pengumpulan bahan baku
2.      Sortasi basah
3.      Pencucian
4.      Perajangan
5.      Pengeringan
6.      Sortasi kering
7.      Pengepakaan dan penyimpanan
Proses pemanenan dan preparasi simplisia merupakan proses yang menentukan mutu simplisia dalam berbagai artian, yaitu komposisi senyawa kandungan, kontaminasi, dan stabilitas bahan. Namun demikian, simplisia sebagai produk olahan, variasi senyawa kandungan dapat diperkecil, diatur, diajegkan. Hal ini karena penerapan iptek pertanian pasca panen yang terstandar.
Dalam hal simplisia sebagai bahan baku dan produk siap dikonsumsi langsung dapat dipertimbangkan tiga konsep ungtuk menyusun parameter standar umum:
1.      Bahwa simplisia sebagai bahan kefarmasian seharusnya memenuhi 3 parameter mutu umum suatu bahan (material), yaitu kebenaran jenis (identifikasi), kemurnian (bebas dari kontaminasi kimia dan biologis), serta aturan penstabilan (wadah, penyimpanan, dan transportasi)
2.      Bahwa simplisia sebagai bahan dan produk konsumsi manusia sebagai obat tetap diupayakan memenuhi 3 paradigma seperti produk kefarmasian lainnya, yaitu: Quality/safety/Efficacy (mutu/aman/manfaat).
3.      Bahwa simplisia sebagai bahan dengan kandungan kimia yang bertanggung jawab terhadap respon biologis harus mempunyai spesifikasi kimia, yaitu informasi, komposisi (jenis dan kadar) senyawa kandungan.
Standarisasi simplisia tidak lain pemenuhan terhadap persyaratan sebagai bahan dan penetapan nilai berbagai parameter dai produk seperti yang telah ditetapkan. Standarisasi simplisia mempunyai pengertian bahwa simplisia yang akan digunakan untuk obat atau sebagai bahan baku harus memenuhi standar mutu. Sebagai parameter standar yang digunakan adalah persyaratan yang tercantum dalam monografi resmi terbitan DepKes RI seperti Materia Medika Indonesia. Sedangkan sebagai produk yang langsung dikonsumsi (serbuk jamu dsb) masih harus memenuhi persyaratan produk kefarmasian sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Mutu suatu ekstrak ditinjau dan dipandang dari senyawa kimia yang dikandung dalaamnya seiring dengan paradigma ilmu kedokteran modern, bahwa respon biologis yang diakibatkan oleh ekstrak pada manusia disebabkan oleh senyawa kimia, bukannya unsur lain seperti bioenergi dan spiritual.
Senyawa kimia dalam ekstrak ditinjau dari aslanya dapat dibedakan menjadi 4 kelompok, yaitu senyawa kandungan asli dari tumbuhan asal, senyawa hasil, perubahan dari senyawa asli, senyawa kontaminasi, baik sebagai polutan atau adiktif proses, senyawa hasil interaksi kontaminasi dengan senyawa asli atau senyawa perubahan. Pengertian dan kesadaran akan adanya 4 kelompok senyawa terkandung dalam ekstrak akan meningkatkan validasi standarisasi dan parameter mutu erkstrak. Kelompok senyawa pertama dan kedua terkait dengan parameter standar umum yang bersifat spesifik, sedangkan kelompok senyawa ketiga dan keeempat merupakan parameter standar umum nonspesifik.
Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh denhgan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian sehingga memenuhi baku yang telah ditetapkan.

Adapun Penjelasan masing-masing langkah adalah sebagai  berikut :
a.                   Sortasi basah
Sortasi pada bahan segar dilakukan untuk memisahkan rimpang dari kotoran berupa tanah, sisa tanaman, dan gulma. Setelah selesai, timbang jumlah bahan hasil penyortiran dan tempatkan dalam wadah plastik untuk pencucian. Diperoleh berat untuk rimpang jahe dan lengkuas sebesar 1 kg.
b.                  Pencucian
Pencucian dilakukan dengan air bersih, jika perlu disemprot dengan air bertekanan tinggi. Amati air bilasannya dan jika masih terlihat kotor lakukan pembilasan sekali atau dua kali lagi. Hindari pencucian yang terlalu lama agar kualitas dan senyawa aktif yang terkandung didalam tidak larut dalam air. Pemakaian air sungai harus dihindari karena dikhawatirkan telah tercemar kotoran dan banyak mengandung bakteri/penyakit. Setelah pencucian selesai, tiriskan dalam tray/wadah yang belubang-lubang agar sisa air cucian yang tertinggal dapat dipisahkan, setelah itu tempatkan dalam wadah plastik/ember.
c.                   Perajangan
Jika perlu proses perajangan, lakukan dengan pisau stainless steel dan alasi bahan yang akan dirajang dengan talenan. Perajangan rimpang dilakukan melintang dengan ketebalan kira-kira 5 mm – 7 mm. Setelah perajangan, timbang hasilnya dan taruh dalam wadah plastik/ember. Perajangan dapat dilakukan secara manual atau dengan mesin pemotong. Diperoleh berat basah untuk rimpang jahe dan lengkuas sebesar 1 kg.
d.                  Pengeringan
Pengeringan dapat dilakukan yaitu dengan alat pemanas/oven pada suhu 40-50oC. Pengeringan rimpang dilakukan selama 3 - 5 hari, atau setelah kadar airnya dibawah 8%.. Rimpang yang akan dikeringkan ditaruh di atas tray oven dan pastikan bahwa rimpang tidak saling menumpuk. Setelah pengeringan, timbang jumlah rimpang yang dihasilkan. Diperoleh berat untuk rimpang jahe dan lengkuas sebesar 300 gram.
e.                   Sortasi kering
Selanjutnya lakukan sortasi kering pada bahan yang telah dikeringkan dengan cara memisahkan bahan-bahan dari benda-benda asing seperti kerikil, tanah atau kotoran-kotoran lain. Timbang jumlah rimpang hasil penyortiran ini (untuk menghitung rendemennya). Diperoleh berat untuk rimpang jahe dan lengkuas sebesar 300 gram.
Sehingga diperoleh rendemen sebesar 30% untuk kedua rimpang tersebut.
f.                   Pengepakaan dan penyimpanan
Setelah bersih, rimpang yang kering dikumpulkan dalam wadah kantong kertas). Berikan label yang   jelas pada wadah tersebut, yang menjelaskan nama bahan, bagian dari tanaman bahan itu, nomor/kode produksi, nama/alamat penghasil, berat bersih dan metode penyimpanannya. Kondisi gudang harus dijaga agar tidak lembab dan suhu tidak melebihi 30oC dan gudang harus memiliki ventilasi baik dan lancar, tidak bocor, terhindar dari kontaminasi bahan lain yang menurunkan kualitas bahan yang bersangkutan, memiliki penerangan yang cukup (hindari dari sinar matahari langsung), serta bersih dan terbebas dari hama gudang.